Bantuan langsung tunai bagi mahasiswa miskin sebesar Rp 500 ribu per semester sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM dinilai sebagai langkah reaktif pemerintah untuk meredam unjuk rasa mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM.
Bantuan ini pun tidak tepat karena mahasiswa adalah kelas menengah sehingga dana untuk BLT harusnya dikucurkan untuk siswa-siswa SD-SMP miskin maupun untuk bantuan kesehatan. Hal itu diungkapkan pengamat politik sekaligus sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sudjito, Rabu (28/5) di Yogyakarta.
"Kebijakan bantuan untuk mahasiswa itu mudah sekali dibaca sebagai upaya menjinakan radikalisme mahasiswa yang semakin menguat. Ini lain jika, ide bantuan itu muncul sebelum kenaikan harga BBM. Program inikan baru muncul setelah kenaikan harga BBM diumumkan," ujarnya.
Menurut Arie, radikalisme mahaiswa tidak bisa dijinakan dengan strategi seperti itu maupun cara-cara represif yang dilakukan aparat keamanan. "Aksi mahasiswa yang terus berlanjut hingga kini adalah akumulasi kekecewaan terhadap kondisi bangsa ini yang tidak kunjung membaik setelah 10 tahun reformasi. Hal itu kemudian dipicu kebijakan pemerintahan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhono) yang sudah menaikan harga BBM dua kali," ujarnya.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar